Hujan baru saja mereda ketika semburat pelangi muncul di angkasa. Aku diam menatapnya dari balik kaca jendela. Berharap lukisan langit itu tidak cepat memudar.
“Indah ya, dek?” Tanya Bebel yang kini sudah ada disampingku. Aku mengangguk pelan tanpa menoleh.
“Ya. Pemandangan langit setelah hujan reda memang sangat indah. Itu sebabnya kenapa gue…”
“Suka banget sama hujan?” sela Bebel padaku.
“Gue tahu kok. Setiap hujan tiba, loe bakal duduk di dekat jendela memandang butirannya. Lalu setelah reda, loe bakal pindah ke atap, buat memandang langit—menunggu pelangi, atau hanya sekedar mengangumi kabut yang menyelimuti perbukitan? Gue tahu semua kebiasaan loe, kok. Loe suka kesendirian” jelasnya pajang lebar, membuatku bungkam. Aku tak pernah menyangka, bahwa dia akan terus mengingat kebiasaanku itu. Sesuatu yang dulu pernah kita lakukan bersama.
“Terkadang gue kangen bareng-bareng lagi, dek. Marathon, hujan-hujanan, menghitung bintang, nulis puisi, denger musik. Gue kangen semuanya. Namun terkadang, segala sesuatu tidak selalu berjalan seperti yang kita mau. Kita nggak bisa mengulang masa lalu. Semua hanya bisa kita kenang. Tapi gue nggak menyesal dengan perpisahan ini, sebab kita ini layaknya barisan abjad yang membentuk sebuah kata, puisi-puisi dan lain sebagainya. Jarak adalah hal terpenting agar kata itu menjadi bermakna”
Aku terngugu mendengar ucapan Bebel itu. Sebagai sahabat, aku tak pernah menyadari bahwa dia juga bisa terluka.
“Setidaknya perpisahan ini mengajarkan kita suatu hal, bahwa kehilangan itu amat menyakitkan. Namun lebih menyakitkan jika kita malah membiarkan kehilangan itu menjauhkan kita tanpa kata” ungkap Mimi diikuti anggukan Bebel.
Kemarin, aku berharap rinai turun menemani langkahku. Berpikir dia akan melebat dan menyembunyikan lukaku dibawahnya.
Lalu hari ini hujan turun, pelan-pelan menghapus jejak yang dia tinggalkan sehabis berlalu.
Dan hari ini juga, aku melihat terang sehabis hujan reda. Bergulir, dia membasuh kabut yang sejenak menggelayut dimataku. Sebagai bonusnya dia hadiahi pelangi tersenyum untukku, dan membiarkan tawaku lebur bersama pijar mentari.
Benar yang dia katakana. Kita hanya perlu jarak untuk membuat kenangan itu menjadi berarti. []
--------
for my beloved friend (Wieke, Rona, Mimi, Rita)
7 komentar:
Kemarin, aku berharap rinai turun menemani langkahku. Berpikir dia akan melebat dan menyembunyikan lukaku dibawahnya.
aku sukaaaaaaa >.<
dan masih sedikit mencerna kata ini :
Kita hanya perlu jarak untuk membuat kenangan itu menjadi berarti.
@ inge : makasih ya, kamu masih setia mengunjungi blog sepi ini.
semoga gak bosan dgn story2nya...
:D
keren........
love your words...as always... ^_^ pengen deh bisa rajin ngeblog kyk de... hehe...
"..tapi gue nggak menyesal dengan perpisahan ini, sebab kita ini layaknya barisan abjad yang membentuk sebuah kata, puisi-puisi dan lain sebagainya. Jarak adalah hal terpenting agar kata itu menjadi bermakna"
beehhh, mantep. dalem bgt kata2nya. *nangis sesenggukan*
@ Ayie : Thanks you...yuk mari kita ngeblog, setidaknya utk mengasah kemampuan menulis atau sekedar curhat aja... :)
@ Daisy : Hehe...saat menulis crt inipun saya juga menangis..
“Setidaknya perpisahan ini mengajarkan kita suatu hal, bahwa kehilangan itu amat menyakitkan. Namun lebih menyakitkan jika kita malah membiarkan kehilangan itu menjauhkan kita tanpa kata”
kata-kata ini maknanya dalem banget, karena tanpa sadar aku pun membiarkan khilangan itu menjauhkan aku dan sahabat2ku tanpa kata..
aku selalu merindukan mereka yang lama dan masih beradaptasi dengan sosok mereka yang baru tapi toh tetap mereka sayang kita..itu lebih dari cukup..krn kita bukan kenangan tapi ingatan =)
Posting Komentar