Pada suatu hari,
aku pernah lelah dengan aktifitas dan ingin melarikan diri ke suatu tempat
dimana tidak ada penat di sana.
Lalu aku
mengkhayalkan rumah masa depanku. Rumah kayu bercat cokelat mengkilat di sebuah
tepian danau. Berandanya terbuat dari kayu pula—tertata rapi sampai menyentuh
bibir danau. Ada dua buah kursi malas di atasnya dengan satu meja pendek
berdiri tak jauh diantaranya.
Danau itu
berkabut ketika pagi dan sore hari. Sementara di siang hari, airnya mengilap
seperti ribuan mutiara tercecer. Setiap pagi aku membuka pintu jendela dengan
perasaan damai. Lalu akan berdiri di sana beberapa saat sampai perutku mulai
keroncongan minta diisi. Ada beberapa helai roti tawar di dapur. Setelah mandi
aku akan memanggang dan mengoleskannya dengan selai cokelat kacang kesukaanku. Segelas
teh hangat dalam mug besar bolehlah kubawa ke halaman untuk menemaniku membaca
sampai matahari meninggi.
Saat matahari
meninggi, aku akan masuk ke dalam rumah lalu naik ke loteng. Dari sana, aku
bisa memandang orang-orang sedang mangayuh cano di tengah-tengah danau. Dalam
hati aku bertanya, “ada ya manusia kurang kerjaan bermain air di bawah terik
seperti siang ini?” Lalu pada suatu siang lainnya, tetangga sebelah mengajakku
melakukan hal yang sama—mengayuh cano. Awalnya aku merasa berat hati. Bukan
karena takut kulitku menjadi gelap, namun aku takut demam, karena panas
matahari siang selalu membuat kepalaku pusing. Mereka bilang, semua orang di
sana akan bermain cano pada siang hari. Kalau aku ingin hari-hariku tidak membosankan,
aku harus ikut serta. Aku merasa tak enak. Sebagai pendatang baru, aku ingin
membaurkan diri dengan mereka. Aku ingin mereka tahu, aku jatuh cinta pada
tempat ini.
Hari itu, aku
ikut bergabung bersama mereka. Bermain air—berlomba-lomba mengayuh cano
ketengah-tengah. Setelah itu bermain jet
sky dan banana boat. Mereka
benar, aktifitas itu sangat menyenangkan.
Sore hari, saat
matahari mulai turun, kami berhenti bercengkrama di dermaga dan kembali ke
rumah masing-masing sambil melambaikan tangan.
Aku mengganti
bajuku dengan piyama dan melampisinya dengan sweater di luar. Teh hangat dalam
mug besarpun kembali menemaniku di beranda. Kali ini aku meninggalkan buku
bacaanku di dalam. Sore hari aku hanya ingin duduk-duduk di beranda sambil
memandang jauh ke depan—di telingaku mengalun lagu-lagu cozy miliknya Aditya
Sofyan.
Malam hari, aku
akan masuk ke dalam dan menyalakan lampion-lampion kecil yang tergantung di
pintu depan. Aku menanggalkan earphoneku dan menyalakan radio mungil di meja
dapur sembari menyantap makan malam yang kubuat secara instan. Aku akan
beranjak pukul 10 malam ke bawah selimutku dan mulai mengkhayalkan perjalanan
piknikku ke atas bukit berbunga di ujung danau ini esok hari.
Itulah rumah masa
depanku, dengan aktifitas yang sangat kusukai. Waktu itu aku masih sangat
menikmati hidupku seorang diri.
Lalu pada suatu
hari kau datang. Kau bilang ingin berada di sana juga. Aku tersenyum. Maksudmu kau
ingin mampir ke rumahku? Kau jawab tidak. “Aku ingin masuk ke dalam
hari-harimu.” Itu jawabmu. Setelah itu, kita mulai merencanakan aktifitas kita
setiap hari di sana.
Kau bilang, kau
akan bangun lebih dulu setiap pagi. Lalu membuka semua jendela biar sejuknya
udara bisa masuk ke dalam rumah.
“Aku akan
kedinginan, dong?” kataku padamu. Kau tersenyum, lalu menggeleng cepat.
“Aku akan
menaikkan selimut tanpa membangunkanmu. Aku tidak ingin mengusik
mimpi-mimpimu.” Aku melambung. Begitu romantisnya jawabanmu.
Kau bilang, kau
akan lari pagi menuju dermaga. “Meski sedikit berkabut, dari sana rumah kita
terlihat sangat indah.”
Aku tersenyum.
“Rumah kita?” Betapa indahnya suatu hari itu.
Kau menggeser dua
kursi malas itu agak ke tengah, lalu melemparkan kail ke dalam air. Katamu,
“duduk di sini. Kita habiskan waktu dengan memancing dan bercerita banyak hal.”
Aku mendekat, dengan seember air bersih ditangan. Dengan lembut, aku meletakkan
topi bundar ke atas kepalamu. Kau tersenyum sambil menggandeng tanganku duduk.
Suatu hari,
berpuluh tahun kemudian, kau masih duduk di sana dengan topi bundar dan
pancinganmu. Rambutmu memutih, kacamatamu beberapa kali merosot di hidungmu. Aku
tertawa memperhatikanmu dari balik jendela dapur. Air dalam ketelku belum
mendidih. Aku terpaksa meninggalkanmu agak lama di luar sana.
Di atas meja, aku
sudah menyiapkan 2 mug besar untuk diisi dengan teh. Satu mangkok bubur ayam
juga sudah siap diangkat—untuk kita santap bersama.
Aku
memperhatikanmu dengan penuh cinta dari balik kaca. Kuusapkan telunjukku
padanya dengan air mata tergenang. Betapa bahagianya aku pada suatu hari itu.
Kau dan aku hidup bersama, sampai hari esok dan esoknya lagi. Ya, pada suatu
hari nanti itu.
Lalu suatu hari,
rumah masa depanku menghilang seiring memudarnya lelah. Aku tak mampu mengkhayalkan
apa-apa lagi setelah itu. Semuanya mengabur begitu saja.
Pada suatu hari,
harapmu berhenti padaku. Kau merusak rencana-rencana indah yang sempat membuku
dalam pikiranku. Kau merobeknya satu persatu, lalu pergi. Aku menangis—terisak.
Tidak ada lagi
rumah masa depan. Tidak ada lagi “kita” suatu hari nanti. Yang ada kau dan dia
atau aku saja.
Aku menangis
berhari-hari sampai mataku sembab. Benar, aku tidak penat lagi dengan
rutinitas. Tapi hatiku lelah bertubi-tubi. Rasanya seperti remuk redam. Aku
berjalan dengan kepenatan lain.
Aku akhirnya pasrah
membiarkan rumah masa depanku menghilang secara perlahan. Aku sadar, rumah itu
terlalu sempurna untukku. Lalu aku memilih menghabiskan lelahku dalam sebuah
keriuhan di pasar tradisional di pinggiran kota. Sebuah kamera lomo milikku,
akan setia mengabadikan berbagai kehidupan di sepanjang jalan itu. Kemudian aku
akan mengayuh sepedaku menuju pesisir pantai, pada sore hari yang dihiasi golden sunset. Di beberapa tempat, aku
akan berhenti untuk mengabadikan beberapa objek yang menarik. Menjelang senja aku akan pulang dengan setumpuk
gambar dalam kameraku. Setidaknya, bisa mengalihkan sedihku setelah kau
tinggalkan.
“Kau tidak akan
berharap ikut lagi bersamaku, kan?” Atau malah sebaliknya?” Kau mengikutiku
dari belakang, lalu mengambil gambarku secara diam-diam dan menyimpannya
untukmu saja. Seperti yang biasa kau lakukan, kan?
“Kau masih
egoiskah?”
Aku tidak tahu
lagi apa yang kau lakukan setelah hari itu. Setelah kau menyerah dengan jarak. Aku
lelah. Mereka-reka apa yang kau pikirkan membuat batinku lelah.
Aku sadar, pada
suatu hari semuanya akan berhenti. Kau akan berhenti berkata-kata. Kau akan
berhenti menaruh janji di kelingkingku. Kau akan berhenti di suatu simpang,
lalu menyuruhku berjalan ke jalan yang satu, sementara kau ke arah yang
lainnya. Pada suatu hari kau berhenti mengatakan, “I wish here” dan
membiarkanku menangis sendirian dalam gelap.
Aku sadar, pada
suatu hari aku juga harus berhenti. Berhenti mengatakan bahwa aku baik-baik
saja setelah kamu pergi, sementara semua orang tahu, aku hancur. Tapi aku tetap
harus berhenti, kan? Berhenti memikirkanmu—menunggu kamu kembali. Aku juga
harus berhenti berharap, bahwa kamu akan bertanya sesekali bagaimana kabarku. Aku
harus berhenti menatap punggungmu yang mengatakan selamat tinggal.
Iya. Aku akan
berhenti. Kamu akan berhenti. Pada suatu hari semuanya akan berhenti.
Selamat tinggal
suatu hari denganmu.
Padang, 30
Agustus 2013.
Pukul 1:59 WIB.
Picture from weheartit.
4 komentar:
Wah, bagus sekali ceritanya, Mbak :) Kata demi kata saya suka. Rasanya saya ikut masuk k dlm rumah masa depan itu. Bagus sekali :) Ya, memang suatu saat kita harus berhenti, dan kemudian melanjutkan sesuatu yg lain :)
Wah, bagus sekali ceritanya, Mbak :) Kata demi kata saya suka. Rasanya saya ikut masuk k dlm rumah masa depan itu. Bagus sekali :) Ya, memang suatu saat kita harus berhenti, dan kemudian melanjutkan sesuatu yg lain :)
@Fany_Krista: Terimakasih, Fany. Senang bisa ikut membawamu ke dalam cerita :)
Nangis miris bacanya. lsg masuk ke hati
Posting Komentar