Senin, 02 September 2013

Pada Suatu Hari, Semua Akan Berhenti



Pada suatu hari, aku pernah lelah dengan aktifitas dan ingin melarikan diri ke suatu tempat dimana tidak ada penat di sana.

Lalu aku mengkhayalkan rumah masa depanku. Rumah kayu bercat cokelat mengkilat di sebuah tepian danau. Berandanya terbuat dari kayu pula—tertata rapi sampai menyentuh bibir danau. Ada dua buah kursi malas di atasnya dengan satu meja pendek berdiri tak jauh diantaranya.

Danau itu berkabut ketika pagi dan sore hari. Sementara di siang hari, airnya mengilap seperti ribuan mutiara tercecer. Setiap pagi aku membuka pintu jendela dengan perasaan damai. Lalu akan berdiri di sana beberapa saat sampai perutku mulai keroncongan minta diisi. Ada beberapa helai roti tawar di dapur. Setelah mandi aku akan memanggang dan mengoleskannya dengan selai cokelat kacang kesukaanku. Segelas teh hangat dalam mug besar bolehlah kubawa ke halaman untuk menemaniku membaca sampai matahari meninggi.

Saat matahari meninggi, aku akan masuk ke dalam rumah lalu naik ke loteng. Dari sana, aku bisa memandang orang-orang sedang mangayuh cano di tengah-tengah danau. Dalam hati aku bertanya, “ada ya manusia kurang kerjaan bermain air di bawah terik seperti siang ini?” Lalu pada suatu siang lainnya, tetangga sebelah mengajakku melakukan hal yang sama—mengayuh cano. Awalnya aku merasa berat hati. Bukan karena takut kulitku menjadi gelap, namun aku takut demam, karena panas matahari siang selalu membuat kepalaku pusing. Mereka bilang, semua orang di sana akan bermain cano pada siang hari. Kalau aku ingin hari-hariku tidak membosankan, aku harus ikut serta. Aku merasa tak enak. Sebagai pendatang baru, aku ingin membaurkan diri dengan mereka. Aku ingin mereka tahu, aku jatuh cinta pada tempat ini.

Hari itu, aku ikut bergabung bersama mereka. Bermain air—berlomba-lomba mengayuh cano ketengah-tengah. Setelah itu bermain jet sky dan banana boat. Mereka benar, aktifitas itu sangat menyenangkan.


Sore hari, saat matahari mulai turun, kami berhenti bercengkrama di dermaga dan kembali ke rumah masing-masing sambil melambaikan tangan.

Aku mengganti bajuku dengan piyama dan melampisinya dengan sweater di luar. Teh hangat dalam mug besarpun kembali menemaniku di beranda. Kali ini aku meninggalkan buku bacaanku di dalam. Sore hari aku hanya ingin duduk-duduk di beranda sambil memandang jauh ke depan—di telingaku mengalun lagu-lagu cozy miliknya Aditya Sofyan.

Malam hari, aku akan masuk ke dalam dan menyalakan lampion-lampion kecil yang tergantung di pintu depan. Aku menanggalkan earphoneku dan menyalakan radio mungil di meja dapur sembari menyantap makan malam yang kubuat secara instan. Aku akan beranjak pukul 10 malam ke bawah selimutku dan mulai mengkhayalkan perjalanan piknikku ke atas bukit berbunga di ujung danau ini esok hari.  

Itulah rumah masa depanku, dengan aktifitas yang sangat kusukai. Waktu itu aku masih sangat menikmati hidupku seorang diri.

Lalu pada suatu hari kau datang. Kau bilang ingin berada di sana juga. Aku tersenyum. Maksudmu kau ingin mampir ke rumahku? Kau jawab tidak. “Aku ingin masuk ke dalam hari-harimu.” Itu jawabmu. Setelah itu, kita mulai merencanakan aktifitas kita setiap hari di sana.

Kau bilang, kau akan bangun lebih dulu setiap pagi. Lalu membuka semua jendela biar sejuknya udara bisa masuk ke dalam rumah.

“Aku akan kedinginan, dong?” kataku padamu. Kau tersenyum, lalu menggeleng cepat.

“Aku akan menaikkan selimut tanpa membangunkanmu. Aku tidak ingin mengusik mimpi-mimpimu.” Aku melambung. Begitu romantisnya jawabanmu.

Kau bilang, kau akan lari pagi menuju dermaga. “Meski sedikit berkabut, dari sana rumah kita terlihat sangat indah.”


Aku tersenyum. “Rumah kita?” Betapa indahnya suatu hari itu.

Kau menggeser dua kursi malas itu agak ke tengah, lalu melemparkan kail ke dalam air. Katamu, “duduk di sini. Kita habiskan waktu dengan memancing dan bercerita banyak hal.” Aku mendekat, dengan seember air bersih ditangan. Dengan lembut, aku meletakkan topi bundar ke atas kepalamu. Kau tersenyum sambil menggandeng tanganku duduk.

Suatu hari, berpuluh tahun kemudian, kau masih duduk di sana dengan topi bundar dan pancinganmu. Rambutmu memutih, kacamatamu beberapa kali merosot di hidungmu. Aku tertawa memperhatikanmu dari balik jendela dapur. Air dalam ketelku belum mendidih. Aku terpaksa meninggalkanmu agak lama di luar sana.

Di atas meja, aku sudah menyiapkan 2 mug besar untuk diisi dengan teh. Satu mangkok bubur ayam juga sudah siap diangkat—untuk kita santap bersama.

Aku memperhatikanmu dengan penuh cinta dari balik kaca. Kuusapkan telunjukku padanya dengan air mata tergenang. Betapa bahagianya aku pada suatu hari itu. Kau dan aku hidup bersama, sampai hari esok dan esoknya lagi. Ya, pada suatu hari nanti itu.

Lalu suatu hari, rumah masa depanku menghilang seiring memudarnya lelah. Aku tak mampu mengkhayalkan apa-apa lagi setelah itu. Semuanya mengabur begitu saja.

Pada suatu hari, harapmu berhenti padaku. Kau merusak rencana-rencana indah yang sempat membuku dalam pikiranku. Kau merobeknya satu persatu, lalu pergi. Aku menangis—terisak.

Tidak ada lagi rumah masa depan. Tidak ada lagi “kita” suatu hari nanti. Yang ada kau dan dia atau aku saja.

Aku menangis berhari-hari sampai mataku sembab. Benar, aku tidak penat lagi dengan rutinitas. Tapi hatiku lelah bertubi-tubi. Rasanya seperti remuk redam. Aku berjalan dengan kepenatan lain.

Aku akhirnya pasrah membiarkan rumah masa depanku menghilang secara perlahan. Aku sadar, rumah itu terlalu sempurna untukku. Lalu aku memilih menghabiskan lelahku dalam sebuah keriuhan di pasar tradisional di pinggiran kota. Sebuah kamera lomo milikku, akan setia mengabadikan berbagai kehidupan di sepanjang jalan itu. Kemudian aku akan mengayuh sepedaku menuju pesisir pantai, pada sore hari yang dihiasi golden sunset. Di beberapa tempat, aku akan berhenti untuk mengabadikan beberapa objek yang menarik. Menjelang senja aku akan pulang dengan setumpuk gambar dalam kameraku. Setidaknya, bisa mengalihkan sedihku setelah kau tinggalkan.


“Kau tidak akan berharap ikut lagi bersamaku, kan?” Atau malah sebaliknya?” Kau mengikutiku dari belakang, lalu mengambil gambarku secara diam-diam dan menyimpannya untukmu saja. Seperti yang biasa kau lakukan, kan?

“Kau masih egoiskah?”

Aku tidak tahu lagi apa yang kau lakukan setelah hari itu. Setelah kau menyerah dengan jarak. Aku lelah. Mereka-reka apa yang kau pikirkan membuat batinku lelah.  

Aku sadar, pada suatu hari semuanya akan berhenti. Kau akan berhenti berkata-kata. Kau akan berhenti menaruh janji di kelingkingku. Kau akan berhenti di suatu simpang, lalu menyuruhku berjalan ke jalan yang satu, sementara kau ke arah yang lainnya. Pada suatu hari kau berhenti mengatakan, “I wish here” dan membiarkanku menangis sendirian dalam gelap.

Aku sadar, pada suatu hari aku juga harus berhenti. Berhenti mengatakan bahwa aku baik-baik saja setelah kamu pergi, sementara semua orang tahu, aku hancur. Tapi aku tetap harus berhenti, kan? Berhenti memikirkanmu—menunggu kamu kembali. Aku juga harus berhenti berharap, bahwa kamu akan bertanya sesekali bagaimana kabarku. Aku harus berhenti menatap punggungmu yang mengatakan selamat tinggal.

Iya. Aku akan berhenti. Kamu akan berhenti. Pada suatu hari semuanya akan berhenti.

Selamat tinggal suatu hari denganmu.

Padang, 30 Agustus 2013.
Pukul 1:59 WIB.


Picture from weheartit.