Senin, 25 November 2013

Angkling Gendhing




Ini pertama kalinya aku datang ke kota ini. Kota yang kerap muncul dalam khayalanku. Kota yang sering kutelusuri pada mesin pencari google.

Jogjakarta, aku datang.

Pukul 13.20 WIB Pesawat Boeing 777-300ER miliknya Garuda Indonesia mendarat di Bandara Adi Sucipto, Jogjakarta. Membawa raga dan mimpi-mimpiku ikut serta di dalamnya. Dengan tergesa-gesa aku menyampirkan ranselku di punggung dan segera berlari menuruni tangga menuju pintu ke luar. Aku menjulurkan kepalaku di antara padatnya pengunjung hari itu—mencari-cari sebuah nama atau tulisan di antara kerumunan penunggu.

Wajahku langsung sumringah demi membaca sebuah tulisan yang dibold besar-besar berwarna biru langit. “WELCOME IN JOGJAKARTA, DE.” Seorang cowok berkacamata menyambutku dengan senyum lembutnya.

“Selamat Datang. Perkenalkan namaku Angkling Gendhing.” Ujarnya sembari mengulurkan tangan. Aku menyambutnya dengan antusias.
“Persiapkan dirimu!” katanya cepat.
“Eh?”
“Persiapkan dirimu untuk jatuh cinta pada kotaku.” Katanya sambil tertawa.

*****

Aku melihat cowok itu di depan meja kerjanya di sebuah gallery seni. Wajahnya tampak serius menggambar sesuatu di atas kertas. Ia berkali-kali memperbaiki letak kacamatanya yang sedikit melorot, tak jarang ia juga menggigit-gigit pinsil di tangannya. Sementara di telinganya terpasang earphone yang tersambung pada ponsel di saku bajunya.

Mungkin dia sedang mendengarkan lagu miliknya Sheila On 7. Hahaha…

Aku memperhatikannya dengan seksama dari balik kaca jendela. Dia tidak menyadari meski sudah beberapa menit aku berdiri di depannya. Iseng aku mengarahkan lensa kameraku kepadanya. Membidiknya sekali. Dua kali. Sampai berkali-kali. Dia masih belum menyadarinya.

“Aku suka menggambar wajah-wajah orang yang tidakku tahu dimana tapi ingin ketemu dia terus diajak bercerita tentang langit, hutan, angin dan seekor liliput.”

Aku tertawa ketika dia bercerita padaku waktu itu. Nggak nyangka aja, ada juga ya cowok doyang ngayal kayak gitu. Biasanya cowok itu kan pikirannya realistis. Nggak suka yang aneh-aneh.

Tapi dia berbeda. Aku dan dia adalah dua orang asing yang bertemu di tengah jalan. Kami memiliki tujuan yang berbeda. Dia ke Utara. Aku ke Selatan. Meski saling memunggungi, kami tidak pernah mengucapkan selamat tinggal. Kami sering janjian bertemu di sebuah beranda, duduk menjuntai di bawah langit sembari bercerita banyak hal layaknya teman lama. Aku dan dia adalah sepasang kunang-kunang yang tersesat di siang hari. Saling mencari tahu, cerita apa saja yang akan dikisahkan hujan pada pelangi.  

Aku tahu dia masih sangat asing bagiku. Tapi aku percaya, kami tidak akan saling  menyakiti. Hanya saja, ada satu hal yang kadang menjadi pertanyaan besarku, “apa yang dia pikirkan tentangku?”

Seorang perempuan yang berani menempuh ribuan mil jarak hanya untuk bertemu dengannya. Seorang perempuan yang betah berlama-lama diceritakan perihal istimewanya Jogjakarta. Seseorang yang sangat percaya bahwa kami memiliki banyak kesamaan.

“Apa yang dia pikirkan tentangku?” Aku penasaran. Seperti penasarannya aku dengan apa yang sedang ia gambar saat ini.

*****

Cowok itu mengangkat kepalanya dari kertas yang disedari tadi dipelototinya. Dengan tersenyum ia melambaikan tangan menyuruhku masuk.

“Kamu sudah berapa lama berdiri di sana?” tanyanya cepat begitu aku masuk.

“Baru saja.” Jawabku berbohong.
“Sudah sarapan?” tanyanya lagi. Aku mengangguk ragu-ragu.
“Kenapa?”
“Lidahku belum terbiasa dengan masakan Jawa.” Jawabku malu-malu. Dia tertawa.  

“Dasar orang Padang!” katanya sambil meletakkan telunjuknya di keningku. Mukaku memerah.

“Udaaaah jangan ngambek gitu. Nanti kuajak makan ditempat yang enak. Tapi jangan ngarep masakan Padang ya. Selama di sini kamu harus membiasakan diri dengan kulinernya.”

Aku hanya mengangguk lesu.

“Ini!” katanya sambil meletakkan selembar kertas di tanganku.
“Apa ini?”
“Peta mencari harta karun.” Dia tertawa-tawa. Aku mencibir.

“Itu peta perjalananmu selama seminggu di Jogjakarta. Lihat tanda Start di sana. Kita akan memulainya hari ini dari titik Nol.” Aku memekik kegirangan dan melompat-lompat di depannya.

Lihat! Dia tahu bagaimana caranya membuat orang lain tersenyum dari pagi hari.

*****

Angkling Gendhing. Seorang cowok berbintang Aries. Dia memilih warna biru dalam hidupnya. Menyapa pagi dengan membuat orang lain tersenyum. Membaca semesta dengan hatinya.

Dia adalah pecinta sejati. Darah seni mengalir deras dalam nadinya. Tak pernah menganggap dirinya seorang penulis meski berlembar-lembar kisah ia dongengkan kepada malam. Tentang hujan. Tentang jari-jari sepeda yang berputar. Tentang daun-daun yang remuk terinjak pejalan kaki. Tentang apa saja yang ia lihat disekitarnya.

“Angkling Gendhing, apa artinya?” suatu hari aku pernah bertanya.

“Angkling Gendhing adalah suara perangkat gamelan yang mengalun seperti symphony. Sarat makna. Bapakku memberikanku nama itu, karena beliau ingin hadirku bisa berarti bagi semua orang.”

Aku tersenyum.

Angkling Gendhing. Seseorang yang suka melukis pelangi di wajahku bahkan pada saat berhujan sekalipun. Seseorang yang sedang berusaha menemukan titik di mana kunang-kunang berkerumun.

*****

“Angkling, terima kasih ya. Kamu sudah memperkenalkan Jogjakarta kepadaku. Sekarang aku semakin percaya akan keiistimewaannya. Terima kasih atas hari-hari yang menyenangkan itu.”

“Kamu tahu lagu Jogjakarta miliknya Kla Project, kan? Aku jamin kamu pasti ingin segera kembali setiap kali mendengarkan lagu itu.”

“Hahaha…I know.”

“Oh iya, aku punya sesuatu untukmu.” Dia mengeluarkan sebuah kertas yang sudah di laminating dari ransel dan menyerahkannya padaku.

Mataku berbinar demi melihat sebuah gambar yang berwarna di atasnya. a girl with backpack and camera

“Mirip tidak?” tanyanya was-was. Aku tertawa sambil menutup mulutku.

“Aku juga punya sesuatu untukmu. Tunggu.” Aku segera mengeluarkan sebuah foto dari dalam albumku. Dia menerimanya ragu-ragu. Wajahnya memerah seketika.

“Kamu?”

“Foto ini aku ambil dari balik jendela saat kamu menggambar. Wajahmu terlihat sangat jelek.” Kataku sambil tertawa. Dia juga.

Kami berpelukan sejenak sebelum melepaskan. Sebelum aku memunggunginya dan kembali ke kotaku.

“Apa kamu jatuh cinta, De?”
“Eh?” Dia berhenti sejenak—menatapku ragu-ragu. “Pada kotaku?” lanjutnya lagi.

Aku tersenyum lebar. “Kapan kau akan datang ke kotaku?” balasku bertanya. Ia hanya tersenyum sampai aku melambaikan tangan dan berlalu.