Tampilkan postingan dengan label Love Story. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Love Story. Tampilkan semua postingan

Senin, 13 Januari 2014

semoga bukan ucapan selamat tinggal

http://weheartit.com/

Pagi ini pukul setengah delapan, suratmu akhirnya sampai di hadapanku. Hanya selembar dan beberapa baris kalimat.

Dear De,

Jogja akan selalu menunggumu. Entah kapan kamu ke sini. Dan meski tanpa ada aku, kamu pasti akan menikmatinya.
Jo.


Ada sesuatu yang menyesak di dadaku tiba-tiba. Aku merasa, kamu sudah tidak akan ada lagi di sana.


Senin, 25 November 2013

Angkling Gendhing




Ini pertama kalinya aku datang ke kota ini. Kota yang kerap muncul dalam khayalanku. Kota yang sering kutelusuri pada mesin pencari google.

Jogjakarta, aku datang.

Pukul 13.20 WIB Pesawat Boeing 777-300ER miliknya Garuda Indonesia mendarat di Bandara Adi Sucipto, Jogjakarta. Membawa raga dan mimpi-mimpiku ikut serta di dalamnya. Dengan tergesa-gesa aku menyampirkan ranselku di punggung dan segera berlari menuruni tangga menuju pintu ke luar. Aku menjulurkan kepalaku di antara padatnya pengunjung hari itu—mencari-cari sebuah nama atau tulisan di antara kerumunan penunggu.

Wajahku langsung sumringah demi membaca sebuah tulisan yang dibold besar-besar berwarna biru langit. “WELCOME IN JOGJAKARTA, DE.” Seorang cowok berkacamata menyambutku dengan senyum lembutnya.

“Selamat Datang. Perkenalkan namaku Angkling Gendhing.” Ujarnya sembari mengulurkan tangan. Aku menyambutnya dengan antusias.
“Persiapkan dirimu!” katanya cepat.
“Eh?”
“Persiapkan dirimu untuk jatuh cinta pada kotaku.” Katanya sambil tertawa.

*****

Aku melihat cowok itu di depan meja kerjanya di sebuah gallery seni. Wajahnya tampak serius menggambar sesuatu di atas kertas. Ia berkali-kali memperbaiki letak kacamatanya yang sedikit melorot, tak jarang ia juga menggigit-gigit pinsil di tangannya. Sementara di telinganya terpasang earphone yang tersambung pada ponsel di saku bajunya.

Mungkin dia sedang mendengarkan lagu miliknya Sheila On 7. Hahaha…

Aku memperhatikannya dengan seksama dari balik kaca jendela. Dia tidak menyadari meski sudah beberapa menit aku berdiri di depannya. Iseng aku mengarahkan lensa kameraku kepadanya. Membidiknya sekali. Dua kali. Sampai berkali-kali. Dia masih belum menyadarinya.

“Aku suka menggambar wajah-wajah orang yang tidakku tahu dimana tapi ingin ketemu dia terus diajak bercerita tentang langit, hutan, angin dan seekor liliput.”

Aku tertawa ketika dia bercerita padaku waktu itu. Nggak nyangka aja, ada juga ya cowok doyang ngayal kayak gitu. Biasanya cowok itu kan pikirannya realistis. Nggak suka yang aneh-aneh.

Tapi dia berbeda. Aku dan dia adalah dua orang asing yang bertemu di tengah jalan. Kami memiliki tujuan yang berbeda. Dia ke Utara. Aku ke Selatan. Meski saling memunggungi, kami tidak pernah mengucapkan selamat tinggal. Kami sering janjian bertemu di sebuah beranda, duduk menjuntai di bawah langit sembari bercerita banyak hal layaknya teman lama. Aku dan dia adalah sepasang kunang-kunang yang tersesat di siang hari. Saling mencari tahu, cerita apa saja yang akan dikisahkan hujan pada pelangi.  

Aku tahu dia masih sangat asing bagiku. Tapi aku percaya, kami tidak akan saling  menyakiti. Hanya saja, ada satu hal yang kadang menjadi pertanyaan besarku, “apa yang dia pikirkan tentangku?”

Seorang perempuan yang berani menempuh ribuan mil jarak hanya untuk bertemu dengannya. Seorang perempuan yang betah berlama-lama diceritakan perihal istimewanya Jogjakarta. Seseorang yang sangat percaya bahwa kami memiliki banyak kesamaan.

“Apa yang dia pikirkan tentangku?” Aku penasaran. Seperti penasarannya aku dengan apa yang sedang ia gambar saat ini.

*****

Cowok itu mengangkat kepalanya dari kertas yang disedari tadi dipelototinya. Dengan tersenyum ia melambaikan tangan menyuruhku masuk.

“Kamu sudah berapa lama berdiri di sana?” tanyanya cepat begitu aku masuk.

“Baru saja.” Jawabku berbohong.
“Sudah sarapan?” tanyanya lagi. Aku mengangguk ragu-ragu.
“Kenapa?”
“Lidahku belum terbiasa dengan masakan Jawa.” Jawabku malu-malu. Dia tertawa.  

“Dasar orang Padang!” katanya sambil meletakkan telunjuknya di keningku. Mukaku memerah.

“Udaaaah jangan ngambek gitu. Nanti kuajak makan ditempat yang enak. Tapi jangan ngarep masakan Padang ya. Selama di sini kamu harus membiasakan diri dengan kulinernya.”

Aku hanya mengangguk lesu.

“Ini!” katanya sambil meletakkan selembar kertas di tanganku.
“Apa ini?”
“Peta mencari harta karun.” Dia tertawa-tawa. Aku mencibir.

“Itu peta perjalananmu selama seminggu di Jogjakarta. Lihat tanda Start di sana. Kita akan memulainya hari ini dari titik Nol.” Aku memekik kegirangan dan melompat-lompat di depannya.

Lihat! Dia tahu bagaimana caranya membuat orang lain tersenyum dari pagi hari.

*****

Angkling Gendhing. Seorang cowok berbintang Aries. Dia memilih warna biru dalam hidupnya. Menyapa pagi dengan membuat orang lain tersenyum. Membaca semesta dengan hatinya.

Dia adalah pecinta sejati. Darah seni mengalir deras dalam nadinya. Tak pernah menganggap dirinya seorang penulis meski berlembar-lembar kisah ia dongengkan kepada malam. Tentang hujan. Tentang jari-jari sepeda yang berputar. Tentang daun-daun yang remuk terinjak pejalan kaki. Tentang apa saja yang ia lihat disekitarnya.

“Angkling Gendhing, apa artinya?” suatu hari aku pernah bertanya.

“Angkling Gendhing adalah suara perangkat gamelan yang mengalun seperti symphony. Sarat makna. Bapakku memberikanku nama itu, karena beliau ingin hadirku bisa berarti bagi semua orang.”

Aku tersenyum.

Angkling Gendhing. Seseorang yang suka melukis pelangi di wajahku bahkan pada saat berhujan sekalipun. Seseorang yang sedang berusaha menemukan titik di mana kunang-kunang berkerumun.

*****

“Angkling, terima kasih ya. Kamu sudah memperkenalkan Jogjakarta kepadaku. Sekarang aku semakin percaya akan keiistimewaannya. Terima kasih atas hari-hari yang menyenangkan itu.”

“Kamu tahu lagu Jogjakarta miliknya Kla Project, kan? Aku jamin kamu pasti ingin segera kembali setiap kali mendengarkan lagu itu.”

“Hahaha…I know.”

“Oh iya, aku punya sesuatu untukmu.” Dia mengeluarkan sebuah kertas yang sudah di laminating dari ransel dan menyerahkannya padaku.

Mataku berbinar demi melihat sebuah gambar yang berwarna di atasnya. a girl with backpack and camera

“Mirip tidak?” tanyanya was-was. Aku tertawa sambil menutup mulutku.

“Aku juga punya sesuatu untukmu. Tunggu.” Aku segera mengeluarkan sebuah foto dari dalam albumku. Dia menerimanya ragu-ragu. Wajahnya memerah seketika.

“Kamu?”

“Foto ini aku ambil dari balik jendela saat kamu menggambar. Wajahmu terlihat sangat jelek.” Kataku sambil tertawa. Dia juga.

Kami berpelukan sejenak sebelum melepaskan. Sebelum aku memunggunginya dan kembali ke kotaku.

“Apa kamu jatuh cinta, De?”
“Eh?” Dia berhenti sejenak—menatapku ragu-ragu. “Pada kotaku?” lanjutnya lagi.

Aku tersenyum lebar. “Kapan kau akan datang ke kotaku?” balasku bertanya. Ia hanya tersenyum sampai aku melambaikan tangan dan berlalu.






Senin, 28 Oktober 2013

Jika hal ini benar


so where is the passion when you need it the most.
oh, you and I.
You kick up the leaves and the magic is lost
--Daniel Powter


Jo.

Aku melihatmu lagi siang itu.

“Hai”. Sapamu sembari tersenyum. Dadaku bergemuruh hebat. Tanpa sadar, jemariku terulur begitu cepat.

“Apa kabar?” tanyaku basa-basi. Ya, tentu saja basa-basi. Jelas aku sudah tahu kabarmu. Berita tentangmu selalu kubaca setiap menit. Aku bahkan bisa mendeteksi kapan kau sedang tidak baik-baik saja. Hari itu, kulihat kau tampak bahagia.

“Aku baik. Kamu?” kamu balik bertanya.

Bagaimana aku menjawabnya? Bertemu dengamu membuat jantungku berdetak lebih dari normal. Kelenjar keringatku bertambah dua kali lipat. Aku merasa, ada kapas-kapas halus berterbangan di perutku.

“Sebenarnya aku baik-baik saja.” Jawabku asal. Kau tertawa sembari menampakkan gigi kelincimu yang besar itu.

“Oh ya? Tapi kok mukamu merah gitu? Kamu sakit?”

Wah, aku tidak siap dengan pertanyaan itu. Akhirnya aku hanya menjawabnya dengan tertawa balik. Tawa yang kedengarannya seperti Spongebob lagi ngeledekin Patrick. Kau hanya mengangguk-angguk sembari melambaikan tangan.

“Aku ke sana dulu ya?” pamitmu dan berlalu. Aku mengangguk sembari menatap langkahmu.

Aku melihatmu lagi siang itu. Kau tampak cantik dengan gaun biru itu. Sejak saat itu, senyumku tak henti-hentinya mengembang setiap kali mengingat kamu.

Kau tahu tidak? Saat jauh darimu, aku menemukan diriku dalam penantian. Jika hal ini benar, aku sedang jatuh cinta lagi padamu.

*****

De.

Zodiacku bilang, biru adalah warna keberuntunganku. Tanggal 17. Hari Jum’at. Juga menjadi simbol keberuntunganku.

Hari ini Jum’at tanggal 17 Mei 2013.

Aku sebenarnya bukan tipe cewek yang mudah percaya dengan ramalan bintang. Khususnya perihal cinta. Tidak ada yang salah dengan kisah cintaku. Aku pernah merasakan yang namanya berbunga-bunga ketika jatuh cinta. Aku bahkan pernah merasakan bagaimana jemari seseorang menggenggam tanganku ketika berjalan. Aku tahu rasanya.

Namun, aku sadar, langit biru juga bisa menjadi putih, merah, jingga, abu-abu bahkan hitam. Segala sesuatu berganti. Hidupku juga. Mulai membosankan akhir-akhir ini. Bukan hidup sih sebenarnya, hanya rutinitas yang memenatkan.

Aku ingin hal-hal baru memasuki hidupku. Seperti bertemu orang asing di jalanan. Saling melempar senyum dan memunguti jejak-jejak pengelana di depanku. Mungkin kami akan berjalan beriringan sampai perempatan sana. Setelahnya aku akan berbelok ke kanan. Dia, mungkin akan terus berjalan—seperti tujuan yang ia cari. Atau malah menyesatkan diri ke kiri, lalu berbelok entah kemana hingga bertemu jalan lain menuju pulang. Entahlah.

Aku ingin hal-hal baru memasuki hidupku. Seperti memakai gaun berwarna biru dan berkumpul dengan para ladies di sebuah coffee shop.

Aku bukan tipe cewek yang percaya dengan ramalan bintang. Bagiku, keberuntungan itu bukannya tanpa alasan. Iya. Bukan kita yang mendikte alasannya. Tapi Tuhan. Aku percaya bahwa keajaiban itu ada.

Seperti hari ini. Melihat kamu berdiri di depanku dengan muka memerah. Bertemu kamu seperti keajaiban ketujuh dalam hidupku.

Aku tahu, aku punya banyak perbendaharaan kata untuk kuutarakan padamu. Tapi bibirku gagu. Aku hanya bisa tertawa-tawa di depanmu. Seperti mendengar candaan Patrick pada Spongebob.

Kau cukup tahu aku kan? Aku tidak pernah tahu bagaimana caranya berpisah tanpa meninggalkan sesak. Sebenarnya, hari itu aku ingin menggenggam jemarimu sekali lagi. Namun, aku tidak tahu bagaimana caranya meminta. Kau lagi-lagi hanya membiarkanku berjalan tanpa mengulurkan tangamu dan mencegahku berlalu.

Kau tahu tidak? Ada yang namanya rindu mengkristal. Menjadi debar-debar. Jika hal ini benar, aku sedang jatuh cinta lagi padamu.

*****

Jo and De.

Jika hal ini benar, kenapa kita tidak saling menemui? Mengubah debar-debar, menjadi indah sua.

Jika hal ini benar, sekali lagi kau berubah menjadi canduku. Apakah kita akan bertemu lain waktu? Apakah suatu saat, aku dan kamu tidak lagi peduli jarak dan waktu? Apakah satu saat, kita akan kembali percaya bahwa diri kita adalah setengah dari cumbu rayu yang akan selalu ada dalam kamus teori cinta yang kita rumuskan bersama?

Jika hal ini benar, aku sedang jatuh cinta lagi padamu.


Jumat, 11 Oktober 2013

Kau,kenapa?


"Nus, makhluk itu datang lagi. Apa kabar dia sekarang?" --Dee. Perahu Kertas

Kau kenapa muncul lagi? Kenapa kehadiranmu membuat bulir di mataku berjatuhan? Kau tahu, aku sudah berhenti menangis sejak saat itu. Aku benar-benar berhenti. Bukankah kau yang menguras air mata ini sejak pergi? Aku benar-benar berhenti sejak saat itu. 

Ada kereta datang. Aku baru saja melihatnya di ujung jalan. Aku baru ingin meninggalkan tempat perhentianku ketika jemarimu mencegat lenganku.

Kau kenapa muncul lagi?

"Aku merindukanmu."

Lalu kemana kau selama ini? Tidak tahukah, ada hujan badai menghampiri kota ini. Aku bertahan, terus bertahan menunggu kamu berpacu dengan waktu untuk melindungiku. Akan kumaafkan jika kau hanya terlambat beberapa jam saja. Tapi ini sudah lebih dari ratusan hari. Aku menggigil di sini. Tubuhku membeku. Kadang ketakutan menghantui. Kau kemana  saja? Aku berharap kamu datang dari arah mana saja sambil membawa segelas susu panas dan selembar selimut tebal--lalu merengkuhkannya ke pundakku. Dimana kau saat itu?

"Aku sedang dalam perjalanan ketika itu. Sedang mengunjungi musim-musim yang tak kau temui di kota ini. Aku ingin mengabadikannya ke dalam toples kaca yang sudah kau persiapkan dulu. Oh, aroma musim apa yang paling kau suka? Autumn ya?"

"Maafkan telah membuatmu menunggu begitu lama. Aku hanya sedang bersembunyi dan mempersiapkan sebuah cerita untukmu. Kau kan selalu suka dengan cerita perjalananku? Katamu, kau seperti terbawa serta. Kau masih percaya tidak, aku selalu ingin membagi mimpi-mimpiku denganmu. Tak perduli mimpi itu berwujud nyata atau tidak. Aku hanya ingin kau tahu, bahwa selalu ada kamu di dalam mimpi-mimpi itu. Masih percaya tidak?"

Aku...ingin berhenti percaya.

"Tidak bisakah kau memaafkanku?"

Aku tidak pernah menyalahkan siapapun. Bahkan kepada jarak dan waktu yang telah menjauhkanmu pun, aku tidak menaruh dendam. Aku hanya tidak ingin memberi kesempatan lagi kepada luka.

"Maafkan aku!"

Berhentilah memohon. Aku takut luka diam-diam menyergapku dari belakang. Tolong, berhentilah.

"....do you remember at all? People walkin' hand in hand. Can we feel that love again? Can you imagine it all? If we all could get along, then we all could sing this song together."

Kau kenapa selalu membuat hujan di mataku? Kau kenapa muncul lagi? Tidak bisakah pergi saja, tanpa kembali?

...dan kenapa membawa luka di ranselmu itu?



Senin, 02 September 2013

Pada Suatu Hari, Semua Akan Berhenti



Pada suatu hari, aku pernah lelah dengan aktifitas dan ingin melarikan diri ke suatu tempat dimana tidak ada penat di sana.

Lalu aku mengkhayalkan rumah masa depanku. Rumah kayu bercat cokelat mengkilat di sebuah tepian danau. Berandanya terbuat dari kayu pula—tertata rapi sampai menyentuh bibir danau. Ada dua buah kursi malas di atasnya dengan satu meja pendek berdiri tak jauh diantaranya.

Danau itu berkabut ketika pagi dan sore hari. Sementara di siang hari, airnya mengilap seperti ribuan mutiara tercecer. Setiap pagi aku membuka pintu jendela dengan perasaan damai. Lalu akan berdiri di sana beberapa saat sampai perutku mulai keroncongan minta diisi. Ada beberapa helai roti tawar di dapur. Setelah mandi aku akan memanggang dan mengoleskannya dengan selai cokelat kacang kesukaanku. Segelas teh hangat dalam mug besar bolehlah kubawa ke halaman untuk menemaniku membaca sampai matahari meninggi.

Saat matahari meninggi, aku akan masuk ke dalam rumah lalu naik ke loteng. Dari sana, aku bisa memandang orang-orang sedang mangayuh cano di tengah-tengah danau. Dalam hati aku bertanya, “ada ya manusia kurang kerjaan bermain air di bawah terik seperti siang ini?” Lalu pada suatu siang lainnya, tetangga sebelah mengajakku melakukan hal yang sama—mengayuh cano. Awalnya aku merasa berat hati. Bukan karena takut kulitku menjadi gelap, namun aku takut demam, karena panas matahari siang selalu membuat kepalaku pusing. Mereka bilang, semua orang di sana akan bermain cano pada siang hari. Kalau aku ingin hari-hariku tidak membosankan, aku harus ikut serta. Aku merasa tak enak. Sebagai pendatang baru, aku ingin membaurkan diri dengan mereka. Aku ingin mereka tahu, aku jatuh cinta pada tempat ini.

Hari itu, aku ikut bergabung bersama mereka. Bermain air—berlomba-lomba mengayuh cano ketengah-tengah. Setelah itu bermain jet sky dan banana boat. Mereka benar, aktifitas itu sangat menyenangkan.


Sore hari, saat matahari mulai turun, kami berhenti bercengkrama di dermaga dan kembali ke rumah masing-masing sambil melambaikan tangan.

Aku mengganti bajuku dengan piyama dan melampisinya dengan sweater di luar. Teh hangat dalam mug besarpun kembali menemaniku di beranda. Kali ini aku meninggalkan buku bacaanku di dalam. Sore hari aku hanya ingin duduk-duduk di beranda sambil memandang jauh ke depan—di telingaku mengalun lagu-lagu cozy miliknya Aditya Sofyan.

Malam hari, aku akan masuk ke dalam dan menyalakan lampion-lampion kecil yang tergantung di pintu depan. Aku menanggalkan earphoneku dan menyalakan radio mungil di meja dapur sembari menyantap makan malam yang kubuat secara instan. Aku akan beranjak pukul 10 malam ke bawah selimutku dan mulai mengkhayalkan perjalanan piknikku ke atas bukit berbunga di ujung danau ini esok hari.  

Itulah rumah masa depanku, dengan aktifitas yang sangat kusukai. Waktu itu aku masih sangat menikmati hidupku seorang diri.

Lalu pada suatu hari kau datang. Kau bilang ingin berada di sana juga. Aku tersenyum. Maksudmu kau ingin mampir ke rumahku? Kau jawab tidak. “Aku ingin masuk ke dalam hari-harimu.” Itu jawabmu. Setelah itu, kita mulai merencanakan aktifitas kita setiap hari di sana.

Kau bilang, kau akan bangun lebih dulu setiap pagi. Lalu membuka semua jendela biar sejuknya udara bisa masuk ke dalam rumah.

“Aku akan kedinginan, dong?” kataku padamu. Kau tersenyum, lalu menggeleng cepat.

“Aku akan menaikkan selimut tanpa membangunkanmu. Aku tidak ingin mengusik mimpi-mimpimu.” Aku melambung. Begitu romantisnya jawabanmu.

Kau bilang, kau akan lari pagi menuju dermaga. “Meski sedikit berkabut, dari sana rumah kita terlihat sangat indah.”


Aku tersenyum. “Rumah kita?” Betapa indahnya suatu hari itu.

Kau menggeser dua kursi malas itu agak ke tengah, lalu melemparkan kail ke dalam air. Katamu, “duduk di sini. Kita habiskan waktu dengan memancing dan bercerita banyak hal.” Aku mendekat, dengan seember air bersih ditangan. Dengan lembut, aku meletakkan topi bundar ke atas kepalamu. Kau tersenyum sambil menggandeng tanganku duduk.

Suatu hari, berpuluh tahun kemudian, kau masih duduk di sana dengan topi bundar dan pancinganmu. Rambutmu memutih, kacamatamu beberapa kali merosot di hidungmu. Aku tertawa memperhatikanmu dari balik jendela dapur. Air dalam ketelku belum mendidih. Aku terpaksa meninggalkanmu agak lama di luar sana.

Di atas meja, aku sudah menyiapkan 2 mug besar untuk diisi dengan teh. Satu mangkok bubur ayam juga sudah siap diangkat—untuk kita santap bersama.

Aku memperhatikanmu dengan penuh cinta dari balik kaca. Kuusapkan telunjukku padanya dengan air mata tergenang. Betapa bahagianya aku pada suatu hari itu. Kau dan aku hidup bersama, sampai hari esok dan esoknya lagi. Ya, pada suatu hari nanti itu.

Lalu suatu hari, rumah masa depanku menghilang seiring memudarnya lelah. Aku tak mampu mengkhayalkan apa-apa lagi setelah itu. Semuanya mengabur begitu saja.

Pada suatu hari, harapmu berhenti padaku. Kau merusak rencana-rencana indah yang sempat membuku dalam pikiranku. Kau merobeknya satu persatu, lalu pergi. Aku menangis—terisak.

Tidak ada lagi rumah masa depan. Tidak ada lagi “kita” suatu hari nanti. Yang ada kau dan dia atau aku saja.

Aku menangis berhari-hari sampai mataku sembab. Benar, aku tidak penat lagi dengan rutinitas. Tapi hatiku lelah bertubi-tubi. Rasanya seperti remuk redam. Aku berjalan dengan kepenatan lain.

Aku akhirnya pasrah membiarkan rumah masa depanku menghilang secara perlahan. Aku sadar, rumah itu terlalu sempurna untukku. Lalu aku memilih menghabiskan lelahku dalam sebuah keriuhan di pasar tradisional di pinggiran kota. Sebuah kamera lomo milikku, akan setia mengabadikan berbagai kehidupan di sepanjang jalan itu. Kemudian aku akan mengayuh sepedaku menuju pesisir pantai, pada sore hari yang dihiasi golden sunset. Di beberapa tempat, aku akan berhenti untuk mengabadikan beberapa objek yang menarik. Menjelang senja aku akan pulang dengan setumpuk gambar dalam kameraku. Setidaknya, bisa mengalihkan sedihku setelah kau tinggalkan.


“Kau tidak akan berharap ikut lagi bersamaku, kan?” Atau malah sebaliknya?” Kau mengikutiku dari belakang, lalu mengambil gambarku secara diam-diam dan menyimpannya untukmu saja. Seperti yang biasa kau lakukan, kan?

“Kau masih egoiskah?”

Aku tidak tahu lagi apa yang kau lakukan setelah hari itu. Setelah kau menyerah dengan jarak. Aku lelah. Mereka-reka apa yang kau pikirkan membuat batinku lelah.  

Aku sadar, pada suatu hari semuanya akan berhenti. Kau akan berhenti berkata-kata. Kau akan berhenti menaruh janji di kelingkingku. Kau akan berhenti di suatu simpang, lalu menyuruhku berjalan ke jalan yang satu, sementara kau ke arah yang lainnya. Pada suatu hari kau berhenti mengatakan, “I wish here” dan membiarkanku menangis sendirian dalam gelap.

Aku sadar, pada suatu hari aku juga harus berhenti. Berhenti mengatakan bahwa aku baik-baik saja setelah kamu pergi, sementara semua orang tahu, aku hancur. Tapi aku tetap harus berhenti, kan? Berhenti memikirkanmu—menunggu kamu kembali. Aku juga harus berhenti berharap, bahwa kamu akan bertanya sesekali bagaimana kabarku. Aku harus berhenti menatap punggungmu yang mengatakan selamat tinggal.

Iya. Aku akan berhenti. Kamu akan berhenti. Pada suatu hari semuanya akan berhenti.

Selamat tinggal suatu hari denganmu.

Padang, 30 Agustus 2013.
Pukul 1:59 WIB.


Picture from weheartit.

Selasa, 27 Agustus 2013

Mungkin Memang Harus Kamu





...khayalan ini menjadi nyata, di kala kisah cinta menyapa,tepat pada waktunya


"Ini." Katamu pada sore yang berkabut itu. Anak-anak rambutmu berserakan dipelipis. Kau mengabaikannya. Aku malah ingin menyentuh dan menepikannya. Biar aku bisa menatap teduh matamu yang belakangan seperti kehilangan harapan.

"Apa ini?" tanyaku bingung. Ditangamu tergengenggam setumpuk pasir yang sedikit basah. Baru saja, ombak menjilatinya dibawah kakimu. Aku melihatmu memungutnya sedemikian rupa. Aku mereka-reka, untuk apa kau berikan setumpuk pasir itu padaku?

"Anggap saja ini hatiku yang ingin kutitipkan padamu." 

"Eh?" Kau mengangsurkan genggamanmu begitu dekat. Beberapa tumpuk lagi terjatuh dari genggamanmu. Kau menatapnya sedih. Sebenarnya, aku yang lebih sedih lagi menatap kau begini.

*****

syukurlah aku temukanmu, 
penunjuk mata anginku.
menuju utara, ataupun tenggara, 
bersamamu kupercaya

Kita baru bertemu 2 hari yang lalu. Di sini, tanpa sengaja. Kau menyapaku yang tengah menikmati pemandangan manusia di jalan Malioboro. Waktu itu aku sedang menyantap semangkok bakso secara perlahan. Aku saat itu sedang berbahagia menikmati waktu liburanku, sementara kau kulihat tampak babak belur.

"Apa yang terjadi padamu?" kutanyakan padamu waktu itu. Kau bilang, kau sedang melarikan diri. Tanpa sungkan, kau bercerita banyak tentang perjalananmu. Kau ternyata sedang patah hati. 

"Aku pulang untuk melamarnya, tapi dia malah meninggalkanku." katamu pilu. Aku tidak berkata apa-apa waktu itu, hanya hatiku sedikit berbisik, "mungkin dia bukan jodohmu."

Kau larut dalam sedihmu hari itu, dengan aku di sampingmu yang tengah berbahagia menyantap baksoku dengan lahap.

*****

syukurlah kali ini cinta, 
berjalan dengan mudahnya,
mungkin saja kamu, 
mungkin hanya kamu, 
mungkin memang harus kamu, Jodohku...

"Ini." Ulangmu lagi. Aku menatap matamu bimbang. Bagaimana kau bisa percaya aku akan menjaganya dengan baik? Bagaimana kau bisa percaya aku tidak akan membuatnya berceceran lagi.

"Aku tidak tahu bagaimana. Yang aku tahu, aku ingin mempercayai seseorang saja. Entah bagaimana, langkah ini membawaku padamu."

"Ini." katamu sambil menumpahkannya ke dalam talapak tanganku. Dibawahnya tanganmu ikut mengembang, melindungi celah-celah yang menganga. 

"Bolehkah untukku saja?"
"Eh?"
"Hatimu. Kau bilang hanya dititipi. Bolehkah untukku saja? Biar jemariku tidak terasa hampa bila kau ambil lagi." tanyaku lirih.
"Sebenarnya, hatiku memang untukmu. Untuk diletakkan dalam genggamanmu. Untuk kau simpan selamanya." jawabmu meyakinkanku.

Hari ini, aku melihat kabut menepi dari matamu. Aku bisa melihat pantulan wajahku di sana. Kau tampak bahagia menemukanku. Aku bahkan lebih daripada itu.

Love like a sunshine in the morning,
love now I'm sure this feeling
I love you, you love me, we're in love
You are the love




Lirik By. Tangga

Senin, 12 Agustus 2013

Hello, Goodbye

Source


Sore itu, aku menemuimu duduk pada anak tangga di depan rumah. Kau tampak rapi dengan kaos birumu itu dan kaca mata berbingkai hitam itu membuat kau tampak semakin menarik. Aku merasa, selalu jatuh cinta setiap kali menemukanmu di beranda rumahku.

"Hai" sapamu gugup. Aku membalas dengan anggukan sembari mengambil tempat di sisimu.
"Lama menunggu?" tanyaku basa-basi. 
Kau menggeleng cepat. "Nggak."

Lalu hening. 

Beberapa menit lamanya kita hanya berkata-kata dalam hati. Mereka-reka isi kepala, merangkai kata atau hanya menikmati rinai-rinai halus yang turun dari langit. 

"Kamu kapan pulang?" tanyaku akhirnya.
"Sudah 2 minggu. Besok juga udah mau berangkat." jelasmu pelan. Jantungku berdegup cepat hingga nyaris mengaburkan jawaban yang susah payah kau rangkai.

"Ooh.." hanya kata itu yang mampu kulemparkan untuk menekan nyeri di dadaku. Aku dan kamu kembali dipaku gagu. Entah sejak kapan kegaguan ini melingkupi kita. Entah sudah berapa baris jeda yang kita ciptakan untuk merangkai kata. Kau mungkin bosan, tapi aku tidak. Saat duduk di sampingmu, meski hanya hening adalah saat-saat paling kusuka. Aku selalu menikmati waktu bersamamu--meski sejenak.

"Selamat tinggal."
"Eh?"
"Aku ke sini hanya untuk mengucapkan itu." katamu lirih.
"Kenapa?"
"Aku menemukan seseorang." jawabmu semakin lirih.
Aku terdiam. Ada sesak menyekap. Dadaku dipenuhi gelembung-gelembung tangis. Sangat sesak. 

Tiba-tiba kau berdiri. Aku menengadah, memandangi wajahmu yang semakin jauh dari padangan. Lalu kau pergi begitu saja. Memunggungiku. 

Aku tahu, setiap kali kau kembali, kau juga selalu pergi lagi. Aku sudah hafal gerak-gerikmu. Dulunya, aku selalu berpikir, kau akan tetap seperti ini. Kembali padaku. Akhir-akhir ini berbeda. Aku akhirnya sadar, kau kembali sampai kau tahu ada tempat yang lebih baik untuk kembali. 

Pintu pagar di depan rumah berderit ketika kau melangkah ke luar. Aku teringat, ada hal yang perlu ku sampaikan padamu. Sebelum kau pergi. Sebelum terlambat. Kau harus tahu.

"Aku juga menemukan seseorang. Dia sangat baik. Tapi aku memilih menutup mata dan bertahan denganmu....."

"Aku bukannya tidak bisa melupakanmu. Tapi belum."

Kau mematung di depan sana. Tak jauh dari tempatmu, aku menunduk menahan tangis. 

Sore itu hujan turun sangat deras. Menampar-nampar wajahmu yang berlari kencang dalam hujan meninggalkanku dengan tangis yang tak terbendung.

"Selamat tinggal." bisikku lirih.

Kali ini aku berfirasat, kau benar-benar tidak akan pernah kembali lagi.



Senin, 26 November 2012

kita hanyalah 2 orang asing yang bertemu di tengah jalan



....tidak pernah berjanji meski kata "promise" sering melengkapi cerita.

Namun itu bukanlah janji untuk menjadi "kita" selama-lamanya, tapi untuk tetap menjadi "kau" dan "aku" saja.

Tidak ada janji untuk tinggal, tidak ada janji untuk menunggu.

Sering kali kita berpisah di suatu tempat. Lalu bertemu di tempat lain. Saling memunggungi. Saling berhadapan. Selalu tidak pernah meminta suatu keharusan. Kita akan tetap menjadi kau dan aku. 

Ya itulah janji kita. Janji dua orang asing yang bertemu di tengah jalan.

Suatu saat, salah seorang dari kita ingkar janji. Seorang dari kita tidak ikut berbalik ketika yang lainnya beranjak pergi. Ia menatap punggung itu sambil menunggu--berharap berbalik dan tersenyum sembari berkata, "jika ada yang harus terus berjalan, maka yang berjalan itu adalah "kita" bukan "aku atau "kau" saja."

Salah seorang dari kita ingkar janji. Lalu menanggung kosekuensinya dengan kehilangan punggung itu. Tidak ada lagi cerita-cerita dua orang asing yang bertemu di tengah jalan. Seseorang menunggu. Seseorang terus  berjalan. Entahlah sampai kapan. Mungkin sampai pertemuan selanjutnya. Sampai seseorang dari kita lelah pergi lalu kembali, atau salah seorang lelah menunggu lalu pergi dan menemukan seseorang lainnya yang bersedia memberi izin untuk menunggu, atau menautkan kelingkingnya menjadi kata "KITA". 

Entahlah.

Salah satu dari kita akhirnya ingkar jadi.

....dan orang itu adalah AKU.





Senin, 16 April 2012

Rasa itu menepi

source


aku tahu persis kamu ada disana.
mungkin sedang bersantai sejenak dari penatnya rutinitas.
aku tahu kamu akan tetap duduk disana untuk beberapa menit kedepan bahkan mungkin berjam-jam lamanya.
sejenak memang ada rindu menggelayut,
ada hasrat ingin bilang "Hai",
namun "Whoaa" aku malah mendapati diri terkejut, karena untuk pertama kalinya aku tidak mempedulikanmu lagi.

goodbye kesedihan...








Senin, 02 April 2012

Membaca Setumpuk Kenangan

Source


Kau tahu, merapikan buku-buku lama yang sudah berdebu itu bisa mengalihkan perhatianmu berhari-hari. Tidak percaya? Coba saja! 

Coba saja kau buka kotak di sudut itu! Itu, yang seperti tempat upeti-upeti jaman kerajaan. Persis juga seperti tempat harta karun Kapten Cook. 

Ya, benar itu! Coba kau buka? Apa yang kau lihat disana? 

“Setumpuk album dan buku-buku usang. Juga sebundel kertas-kertas buram yang tersudut.”

Well, kamu benar. Dan coba kau buka satu persatu. Kau akan menghabiskan waktu berhari-hari untuk membacanya dan bertahun-tahun untuk terus mengingatnya. 

“Memangnya apa isinya?” 

Surat-surat cinta yang kau kirimkan kepadaku semenjak SMA berikut sejumlah album pernikahan kita dan anak-anak kita. Kau boleh membongkarnya dari kotak itu. Mungkin kau ingin membacanya atau sekedar membalik halaman-halamannya satu persatu sembari duduk dikursi goyangmu di dekat jendela itu. Kali ini aku tidak akan marah jika kau membuat lantai itu penuh remah-remah. Aku janji akan mengumpulkannya kembali tanpa mengomel-ngomel. Dan jika kau lupa, aku akan duduk disampingmu—membantumu mengingatnya dari awal.

“Tapi berjanjilah kau tidak akan menertawakan gombolan-gombalan ku dulu!” 

Hahaha…I promise, dear!








Akan Ku Ceritakan Padamu

Source


Dear Mars, 

Aku baru saja menemukan sebuah buku dongeng dalam kotak usang perkakas nenekku. Tersimpan di dalam gudang, terhimpit sepeda tua peninggalan kakek. Sangat terpojok—berlumuran debu. Tapi dengan sekali pandang, aku bisa mengenalinya segera. Ibu yang menceritakannya semalam. Tidak begitu tebal, sih. Tapi mungkin cukup menyita sebagian malammu untuk mendengarkannya. 

Ok! Ok! Aku berjanji akan menceritakannya padamu. Tapi kau harus janji dulu, kalo ini hanya akan jadi rahasia kita berdua. Jangan bilang pada Hestia apalagi Ares. Mereka menyebalkan! Kau ingatkan kejadian hari itu? Mereka menumpahkan bubuk fairy di lantai kamarku, hingga akhirnya aku terpeleset dan jatuh ke planet earth ini. Dan kau tahu bagaimana cerita selanjutnya kan? Aku harus menulis 1000 lembar surat untukmu agar bisa kembali ke sana. 

Ugh, menyesakkan jika harus berjauhan darimu. Tapi mungkin sebentar lagi kita akan bertemu kembali, karena ini udah surat ke 991. I’m so happy for that! 

Will you waiting for me, Mars? 



 Love,