Tampilkan postingan dengan label Kamu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kamu. Tampilkan semua postingan

Rabu, 25 November 2015

dan kamu



kau datang dengan cara berbeda,
senyap,
nyaris tak berasa,
lalu perlahan terlihat hingga aku mampu merasakan hadirmu,
tak berapa lama kau pun pergi,
dengan hening,
hingga mencabut paksa semua rasa yang aku punya,
kau meninggalkan perih,
sesak,
dan kosong,
aku tahu, aku sekarat,
namun tidak mati,

ya, lihat saja, esok aku akan berdiri lagi,
dan siap untuk jatuh cinta lagi,


mungkin,
padamu,
lagi.







Senin, 16 November 2015

kau tahu, aku ingin tahu

aku tahu kau di sana,
hampir setiap menit,
namun kau hanya membisu,
entah apa yang terjadi denganmu,
aku tidak tahu,
ketidaktahuanku kadang membuatku cemburu pada duniamu,
aku berusaha mengerti,
namun kau mencegahku untuk peduli,
dan kau pun perlahan berhenti,



namun aku tak bisa berhenti.






Kamis, 13 Agustus 2015

Percakapan Hati



Sudah satu jam ia duduk di dekat jendela itu. Memandang ke luar dari tingkap yang terbuka pada pepohonan yang mulai meranggas di halaman. Mendung luruh di wajahnya. Namun ia tetap tenang meski badai berkecamuk di dadanya. 

Ada yang tidak biasa dari tenangnya kali. Tenang yang dipaksakan. Tenang dengan kekosongan. 

Ia mencoba menarik bibirnya berkali-kali. Memaksanya membentuk sebuah senyuman. Berharap senyum itu tidak pergi begitu saja dengan mudahnya. 

"Apa yang salah perihal semalam?" tanya batinnya berontak. Pertanyaan yang sama sudah berkali-kali ia lontarkan namun tak bertemu jawaban yang melegakan.

"Tidak ada yang salah." Bibirnya mencoba menenangkan meski ia tahu, itu hanya kebohongan belaka. 

"Aku akan baik-baik saja." bisiknya lirih. "Kau tidak bisa memaksa seseorang memberimu bahagia jika kau tidak bisa membahagiakan dirimu sendiri, kan?"

"Apa kau perlu memelihara perih hanya karena egois?" batinnya bertanya lagi.

"Kadang memang perlu, kan?" jawabnya putus asa. 

"Tidak. Tidak perlu. Kau harus berdamai denganku. Aku yang harus kau ikuti ketika kau merasa putus asa. Aku yang akan menunjukimu jalan." bujuk hatinya lembut.

"Lalu, kau akan mengajakku kemana?"

"Pejamkan matamu. Aku akan membawamu kepadanya. Kepada debar yang kau rasa ketika bertemu dengannya pertama kali. Kepada senyum yang tak perlu kau tarik paksa saat ia berkata-kata. Kepada bahagia yang tak bisa kau sembunyikan meski hanya diam duduk bersamanya. Kau hanya perlu mengingatnya. Dengan begitu kau akan tahu, perasaanmu belum habis."

"Lalu apa yang harus kulakukan?" kali ini ia mulai terisak.

"Bilang padanya. Kau hanya perlu jujur. Perihal ia mengacuhkanmu, biarkan saja. Kau hanya perlu melegakan dirimu sendiri. Setelah itu, kau bisa menikmati bahagiamu sendiri."

"Apa ia akan mendengarkan?"

"Entahlah. Aku tidak bisa menjamin. Tapi semoga saja."

"Tak bisakah tetap diam saja dan menunggu apa yang akan terjadi esok hari?"

"Kau tahu, terkadang diam itu menyesakkan. Sudahi saja perihmu, meski akhirnya tidak seperti yang kau harapkan. Karena cinta tidak melulu tentang bahagia."

Tak perlu menunggu hujan di luar sana. Di matanya hujan sudah berderai dari tadi. Kali ini ia tidak menahannya apalagi menyekanya. Biarkan saja. Biarkan saja sampai reda. Setelah itu ia akan berdamai dengan hatinya.


Selasa, 11 November 2014

dan kita tahu


...dan perihal jarak membuat kita kembali menjadi orang asing. Sejatinya kau dan aku memang orang asing. Kita berdua sama-sama tahu.



Rabu, 29 Oktober 2014

can you hear that?




Susah untuk tak jujur pada hati. Dan ketika kukatakan padamu, kau hanya membisu. Aku sudah tahu kau akan demikian. Tidak apa-apa. Aku hanya ingin mengatakannya.

Aku kangen kamu.



Senin, 13 Januari 2014

semoga bukan ucapan selamat tinggal

http://weheartit.com/

Pagi ini pukul setengah delapan, suratmu akhirnya sampai di hadapanku. Hanya selembar dan beberapa baris kalimat.

Dear De,

Jogja akan selalu menunggumu. Entah kapan kamu ke sini. Dan meski tanpa ada aku, kamu pasti akan menikmatinya.
Jo.


Ada sesuatu yang menyesak di dadaku tiba-tiba. Aku merasa, kamu sudah tidak akan ada lagi di sana.


Senin, 25 November 2013

Angkling Gendhing




Ini pertama kalinya aku datang ke kota ini. Kota yang kerap muncul dalam khayalanku. Kota yang sering kutelusuri pada mesin pencari google.

Jogjakarta, aku datang.

Pukul 13.20 WIB Pesawat Boeing 777-300ER miliknya Garuda Indonesia mendarat di Bandara Adi Sucipto, Jogjakarta. Membawa raga dan mimpi-mimpiku ikut serta di dalamnya. Dengan tergesa-gesa aku menyampirkan ranselku di punggung dan segera berlari menuruni tangga menuju pintu ke luar. Aku menjulurkan kepalaku di antara padatnya pengunjung hari itu—mencari-cari sebuah nama atau tulisan di antara kerumunan penunggu.

Wajahku langsung sumringah demi membaca sebuah tulisan yang dibold besar-besar berwarna biru langit. “WELCOME IN JOGJAKARTA, DE.” Seorang cowok berkacamata menyambutku dengan senyum lembutnya.

“Selamat Datang. Perkenalkan namaku Angkling Gendhing.” Ujarnya sembari mengulurkan tangan. Aku menyambutnya dengan antusias.
“Persiapkan dirimu!” katanya cepat.
“Eh?”
“Persiapkan dirimu untuk jatuh cinta pada kotaku.” Katanya sambil tertawa.

*****

Aku melihat cowok itu di depan meja kerjanya di sebuah gallery seni. Wajahnya tampak serius menggambar sesuatu di atas kertas. Ia berkali-kali memperbaiki letak kacamatanya yang sedikit melorot, tak jarang ia juga menggigit-gigit pinsil di tangannya. Sementara di telinganya terpasang earphone yang tersambung pada ponsel di saku bajunya.

Mungkin dia sedang mendengarkan lagu miliknya Sheila On 7. Hahaha…

Aku memperhatikannya dengan seksama dari balik kaca jendela. Dia tidak menyadari meski sudah beberapa menit aku berdiri di depannya. Iseng aku mengarahkan lensa kameraku kepadanya. Membidiknya sekali. Dua kali. Sampai berkali-kali. Dia masih belum menyadarinya.

“Aku suka menggambar wajah-wajah orang yang tidakku tahu dimana tapi ingin ketemu dia terus diajak bercerita tentang langit, hutan, angin dan seekor liliput.”

Aku tertawa ketika dia bercerita padaku waktu itu. Nggak nyangka aja, ada juga ya cowok doyang ngayal kayak gitu. Biasanya cowok itu kan pikirannya realistis. Nggak suka yang aneh-aneh.

Tapi dia berbeda. Aku dan dia adalah dua orang asing yang bertemu di tengah jalan. Kami memiliki tujuan yang berbeda. Dia ke Utara. Aku ke Selatan. Meski saling memunggungi, kami tidak pernah mengucapkan selamat tinggal. Kami sering janjian bertemu di sebuah beranda, duduk menjuntai di bawah langit sembari bercerita banyak hal layaknya teman lama. Aku dan dia adalah sepasang kunang-kunang yang tersesat di siang hari. Saling mencari tahu, cerita apa saja yang akan dikisahkan hujan pada pelangi.  

Aku tahu dia masih sangat asing bagiku. Tapi aku percaya, kami tidak akan saling  menyakiti. Hanya saja, ada satu hal yang kadang menjadi pertanyaan besarku, “apa yang dia pikirkan tentangku?”

Seorang perempuan yang berani menempuh ribuan mil jarak hanya untuk bertemu dengannya. Seorang perempuan yang betah berlama-lama diceritakan perihal istimewanya Jogjakarta. Seseorang yang sangat percaya bahwa kami memiliki banyak kesamaan.

“Apa yang dia pikirkan tentangku?” Aku penasaran. Seperti penasarannya aku dengan apa yang sedang ia gambar saat ini.

*****

Cowok itu mengangkat kepalanya dari kertas yang disedari tadi dipelototinya. Dengan tersenyum ia melambaikan tangan menyuruhku masuk.

“Kamu sudah berapa lama berdiri di sana?” tanyanya cepat begitu aku masuk.

“Baru saja.” Jawabku berbohong.
“Sudah sarapan?” tanyanya lagi. Aku mengangguk ragu-ragu.
“Kenapa?”
“Lidahku belum terbiasa dengan masakan Jawa.” Jawabku malu-malu. Dia tertawa.  

“Dasar orang Padang!” katanya sambil meletakkan telunjuknya di keningku. Mukaku memerah.

“Udaaaah jangan ngambek gitu. Nanti kuajak makan ditempat yang enak. Tapi jangan ngarep masakan Padang ya. Selama di sini kamu harus membiasakan diri dengan kulinernya.”

Aku hanya mengangguk lesu.

“Ini!” katanya sambil meletakkan selembar kertas di tanganku.
“Apa ini?”
“Peta mencari harta karun.” Dia tertawa-tawa. Aku mencibir.

“Itu peta perjalananmu selama seminggu di Jogjakarta. Lihat tanda Start di sana. Kita akan memulainya hari ini dari titik Nol.” Aku memekik kegirangan dan melompat-lompat di depannya.

Lihat! Dia tahu bagaimana caranya membuat orang lain tersenyum dari pagi hari.

*****

Angkling Gendhing. Seorang cowok berbintang Aries. Dia memilih warna biru dalam hidupnya. Menyapa pagi dengan membuat orang lain tersenyum. Membaca semesta dengan hatinya.

Dia adalah pecinta sejati. Darah seni mengalir deras dalam nadinya. Tak pernah menganggap dirinya seorang penulis meski berlembar-lembar kisah ia dongengkan kepada malam. Tentang hujan. Tentang jari-jari sepeda yang berputar. Tentang daun-daun yang remuk terinjak pejalan kaki. Tentang apa saja yang ia lihat disekitarnya.

“Angkling Gendhing, apa artinya?” suatu hari aku pernah bertanya.

“Angkling Gendhing adalah suara perangkat gamelan yang mengalun seperti symphony. Sarat makna. Bapakku memberikanku nama itu, karena beliau ingin hadirku bisa berarti bagi semua orang.”

Aku tersenyum.

Angkling Gendhing. Seseorang yang suka melukis pelangi di wajahku bahkan pada saat berhujan sekalipun. Seseorang yang sedang berusaha menemukan titik di mana kunang-kunang berkerumun.

*****

“Angkling, terima kasih ya. Kamu sudah memperkenalkan Jogjakarta kepadaku. Sekarang aku semakin percaya akan keiistimewaannya. Terima kasih atas hari-hari yang menyenangkan itu.”

“Kamu tahu lagu Jogjakarta miliknya Kla Project, kan? Aku jamin kamu pasti ingin segera kembali setiap kali mendengarkan lagu itu.”

“Hahaha…I know.”

“Oh iya, aku punya sesuatu untukmu.” Dia mengeluarkan sebuah kertas yang sudah di laminating dari ransel dan menyerahkannya padaku.

Mataku berbinar demi melihat sebuah gambar yang berwarna di atasnya. a girl with backpack and camera

“Mirip tidak?” tanyanya was-was. Aku tertawa sambil menutup mulutku.

“Aku juga punya sesuatu untukmu. Tunggu.” Aku segera mengeluarkan sebuah foto dari dalam albumku. Dia menerimanya ragu-ragu. Wajahnya memerah seketika.

“Kamu?”

“Foto ini aku ambil dari balik jendela saat kamu menggambar. Wajahmu terlihat sangat jelek.” Kataku sambil tertawa. Dia juga.

Kami berpelukan sejenak sebelum melepaskan. Sebelum aku memunggunginya dan kembali ke kotaku.

“Apa kamu jatuh cinta, De?”
“Eh?” Dia berhenti sejenak—menatapku ragu-ragu. “Pada kotaku?” lanjutnya lagi.

Aku tersenyum lebar. “Kapan kau akan datang ke kotaku?” balasku bertanya. Ia hanya tersenyum sampai aku melambaikan tangan dan berlalu.






Senin, 12 Agustus 2013

Apalagi yang bisa kulakukan?


Kau tahu, aku tidak bisa menahanmu meski sangat ingin.
Aku juga tidak bisa jatuh cinta lagi, apalagi berpaling.
Aku bisa melakukan banyak hal, tapi tidak bisa mengenyahkan kamu begitu saja.
Jadi, hanya itu yang bisa kulakukan.
Menunggumu kembali.




Selasa, 11 Juni 2013

Apa artinya?

Taken here

Entah kapan waktu yang tepat untuk melupakanmu aku tidak tahu. Bisa saja 3, 2, setahun yang lalu aku bilang melupakanmu, lalu benar secara perlahan-lahan aku menjauhi semua hal tentang kamu. Namun dipertengahan tahun kau mulai kusebut-sebut lagi. Aku mulai menulis banyak tentangmu.

Aku sadar, aku tidak pernah (bisa) benar-benar melupakanmu. Tapi sesadar-sadarnya aku mengingat kamu, aku juga sadar entah kapan dimulainya, aku lupa bagaimana rasanya jatuh cinta.

Aku lupa rasanya deg degan ketika bertemu kamu. 
Lupa pada meriangnya badanku ketika di dekatmu. 
Lupa bagaimana rasanya kupu-kupu beterbangan di perutku ketika memikirkanmu.
Entah itu mual.
Entah itu seperti tersengat ribuan volt listrik.
Apakah itu manis.
Apakah itu pahit.
Atau benar seperti yang orang katakan, jatuh cinta itu rasanya nano nano. Aku sering makan permen nano-nano, namun rasanya tak seperti jatuh cinta.

Aku sadar, aku tidak bisa melupakanmu. Tapi waktu membunuh rasaku dengan sempurna.

Apa artinya meski aku terus mengingat kamu?