Aku melihat purnama yang terang lewat kisi-kisi jendela kamarku yang sudah tertutup. Terang. Seperti sebuah mutiara tergantung di langit. Mengkilap.
Kebetulan. Hanya sebuah kebetulan saja, atau memang malam yang menarik kepalaku untuk menatap langitnya yang terang benderang.
Purnama hadir lagi di sana, dan aku disini memandang dari sudut yang tak terlihat terang. Entah sudah ratusan purnama berlalu. Namun aku mengabaikannya begitu saja. Tidak lagi hendak menikmati indah sinar yang ia pancarkan.
Tidak. Sebenarnya tidak. Aku tidak hendak mengabaikannya. Hanya saja, setiap kali aku memandangnya, aku akan selalu teringat dia yang entah memikirkan hal yang sama.
"Apa kabarmu di sana? Masihkah memandang bulan yang sama, seperti yang kunikmati saat ini?"
Selalu saja tak ada jawaban akan pertanyaan itu. Dia membisu. Hening tak berkata. Lalu akupun lelah menengadahkan kepala. Pegal hati ini memburu jawab.
Sekian tahun berlalu, pada akhirnya yang kutemukan hanya satu jawaban.
"Aku tak lagi memandang purnama"
Hanya itu. Setelahnya aku terpekur, "Purnama itu bukan milik kita lagi". Kemudian aku menutup pintu dan membiarkan ratusan purnama berlalu begitu saja.
Lalu hari ini dia datang, memaksaku melihat ke atas lagi--menatap hampa pada bias malam yang memudar.
Aku lelah mengulang pertanyaan yang sama, lalu memburu jawaban bersamanya.
"Apa kabarmu di sana? Masihkah kau ingat moment di bulan purnama?" Dan udara di depanku membatu. Hening tak bersuara.
"Mungkin dia sudah lupa" Begitu jawaban yang kudengar. Entah dari mana. Mungkin dari hatiku sendiri.
Kemudian aku tersadar, dan menutup pintu pelan-pelan. Untuk yang kesekian kalinya bulan purnama kubiarkan berlalu.